PADA tahun 1932 “Albert Einstein” menulis surat kepada “Sigmund Freud”,
menanyakan pendapatnya, ‘
‘apa yang dapat dilakukan manusia agar terhindar dari kutukan peperangan”.
Pertanyaan itu barangkali karena dunia pada saat itu masih dihantui oleh akibat Perang Dunia I
yang mengejutkan manusia Eropa, justru akibat kerusakan dan penderitaan yang harus ditanggung oleh mereka.
Sebagai ahli ilmu jiwa, Freud menjelaskan dalam surat esainya yang terkenal,
”Mengapa Perang?”
Dia menguraikan tentang adanya dua insting pokok manusia,
yakni insting cinta dan insting benci.
Insting cinta itu baik karena manusia peduli dan mencintai sesamanya.
Ini mengandaikan adanya kepedulian terhadap hidup orang lain, keselamatan,
kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain.
Tetapi insting ini juga sekaligus membawa insting kebencian
kalau sikap cinta kasihnya terhadap orang lain disertai dengan niat memiliki yang dicintainya itu.
Dengan itikad memiliki maka terjadilah penguasaan, diktator,
penjajahan dari si pencinta kepada yang dicintai.
Dan kalau perasaan tidak bebas dari yang dicintai ini memberontak, maka terjadi konflik.
Dan konflik ini selalu diakhiri dengan ”adu kekuatan”. Siapa yang kalah akan menjadi ”budak”,
dan yang menang menjadi ”majikan”. Maka mulailah penderitaan manusia.
*** POKOK pikiran semacam itu dapat dilihat dalam praktek sehari- hari kita.
Orangtua yang mengatakan dirinya amat mencintai anak- anaknya,
seringkali berubah menjadi diktator orangtua terhadap anak.
Orangtua ingin ”membentuk” anak menurut kemauannya sendiri.
Anak harus menjadi dokter agar hidupnya kelak kecukupan dan bahagia,
meskipun si anak ngotot mau masuk fakultas sastra.
Kebahagiaan siapakah yang ingin diwujudkan? Kebahagiaan orangtua atau kebahagiaan anak?
Dalam koran diberitakan, ada seorang lelaki yang telah beristri mencintai seorang gadis.
Dan cintanya terbalas. Tetapi ketika mengetahui si gadis menjalin hubungan cinta dengan lelaki lain yang masih lajang, berkobarlah rasa bencinya dan tega membunuh si gadis.
Insting cintanya telah berubah menjadi insting merusak dan membenci, karena lelaki beristri tadi ingin memiliki si gadis bagi kesenangannya sendiri.
Ada juga sekolah yang ambisius ingin menduduki ranking sepuluh besar sebagai sekolah terbaik di seluruh Indonesia. Maka demi ambisinya itu pimpinan sekolah menjadi diktator atas murid-muridnya. Dijalankan disiplin keras dan paksaan belajar yang di luar kewajaran.
Hari-hari murid, di sekolah atau di rumah, harus diisi dengan belajar dan belajar.
Murid-murid dijadikan korban ambisi sekolah.
Ajaran-ajaran moral terbesar dalam sejarah umat manusia selalu menekankan adanya kasih sayang, cinta, antara sesama manusia.
Cintailah orang lain seperti saudaramu, meskipun ia lain ras, lain kelas sosial, lain bangsa,
lain agama, lain usia.
Cinta menyatukan, mendamaikan, membahagiakan, menyenangkan.
Kebencian melahirkan konflik, kekerasan, perusakan, kebinasaan umat manusia. Cinta itu Hidup, Benci itu Mati.
*** SEPERTI dikatakan Freud, naluri cinta itu berubah menjadi benci
kalau disertai nafsu memiliki,
yaitu dijadikan bagian kepentingan dirinya sendiri.
Pemikiran ini dikembangkan oleh Erich Fromm dalam bukunya yang terkenal,
Memiliki dan Menjadi. Cara hidup ”memiliki” adalah naluri cinta yang berakhir dengan penderitaan, kerusakan, kebinasaan dan kematian dari yang dicintai.
Cara hidup ”menjadi” inilah hakikat cinta manusia yang sesungguhnya. Kita mencintai seseorang bukan demi kepentingan semata-mata,
tetapi demi yang kita cintai agar tumbuh berkembang mencapai kebahagiaannya sendiri. Dengan menolong orang lain, kita menjadi seorang penolong.
Dengan memberi kepada orang lain, kita tumbuh menjai seorang pemberi.
Dengan melakukan kebaikan terhadap orang lain, diri kita tumbuh sedikit menjadi ”orang baik”.
Nafsu memiliki ini berpusat pada kepentingan diri sendiri. Dengan memiliki kita menguasai dan bebas mempergunakan kepemilikan kita buat ”kebahagiaan” kita sendiri.
Dalam cara mencintai dan cara hidup ini, maka harus ada yang menjadi korban kepemilikan.
Anak menjadi korban ambisi orangtua, si gadis menjadi korban nafsu seksualitas lelaki beristri, murid-murid jadi korban perburuan ranking nasional.
Siapakah yang sebenarnya ”bahagia?”
Kita mencintai anak-anak kita justru karena sadar bahwa mereka adalah manusia dengan karakter dan bercita-cita lain dengan kita orang tua.
Kewajiban cinta kita pada mereka adalah membantu mewujudkan apa yang diinginkan.
*** MENCINTAI, menolong, membantu, berbuat baik, kepada orang lain bisa berubah menjadi tindakan diktator dan berakhir dengan jatuhnya korban percintaan,
kalau kondisi dan kebutuhan yang kita cintai tidak diperhitungkan.
Mencintai orang lain, berbuat baik untuk orang lain, ternyata tidak semudah yang kita duga.
Mencintai dan berbuat baik itu bukan sekadar niat dan tindakan, tetapi juga dengan pengenalan, pengetahuan, pengorbanan, strategi terhadap yang kita cintai.
Kalau tidak demikian, maka cinta bisa berubah menjadi malapetaka bagi yang kita cintai.
Kalau Anda jatuh cinta, Anda ingin tahu rincian hidup yang Anda cintai
(ketika bertemu pertama kali di kereta api).
Bagaimana riwayatnya, keluarganya, bintangnya, kesehatannya, cita-citanya.
Dan Anda mempergunakan tetek bengek informasi itu untuk menyusun strategi bagaimana lebih jauh menaklukkan hatinya.
Kalau kita mencintai orang miskin, orang menderita stres, orang kena musibah, orang bingung,
maka kita juga harus berbuat yang sama seperti kalau Anda jatuh cinta.
Surat Einstein kepada Freud memang menyangkut perang dan penderitaan
serta kemungkinan lenyapnya spesies bernama manusia akibat perang di muka Bumi ini.
Konflik kepentingan, agresi, pemusnahan adalah naluri kebencian manusia.
Seperti cinta, manusia juga harus mengenal, memahami dan merasakan akibat kebenciannya terhadap orang lain.
Adalah Dannion Brinkley yang menceritakan pengalaman ”mati” sampai dua kali dalam bukunya “Saved by the Light”, mengisahkan bagaimana dirinya merasa rendah dan hina oleh kejahatan-kejahatannya memukuli orang lain semasa hidup.
Ia bukan hanya ingat detail perbuatannya, tetapi juga suasana dan perasaan si korban waktu dia- aniaya. Dengan mengenal dan merasakan akibat kejahatannya, jiwa Brinkley menilai perbuatannya sendiri yang tidak baik.
Mengenal dengan baik penderitaan, kebahagiaan, keinginan, kekuatan dan kelemahan yang kita cintai atau kita benci,
kiranya dapat menuntun kita mencintai orang lain lebih ”baik dan benar”.
Mencintai sesama itu tidak mudah.
Lebih mudah ditulis dan dianalisis daripada dijalankan. Sebab cinta itu perbuatan nyata.
Dan perbuatan itu baru ada kalau ada si pencinta dan yang dicinta.
Maka pengetahuan dan pengenalan ketiga unsur cinta itu harus dibenahi.
sumber : muhammadrisal
Kamis, 16 Agustus 2012
Memaknai “Apakah Cinta Tak Harus memiliki”
20.51
Unknown
No comments
Posted by:
Gubuk Dunia, Updated at: 20.51
0 komentar:
Posting Komentar